“Aku ingin menjelma
hujan!” Ayra berteriak lantang.
Tubuh kurusnya
basah kuyup. Tapi tetap bergeming. Tak hendak berteduh. Sepertinya memang
sengaja ingin mandi hujan.
Di balik jendela
mataku tak henti menatapnya. Gerakan tiap gerakan membuatku penasaran apa yang
tengah menguasai otaknya.
Sesekali gadis
pendiam itu menengadahkan kepala. Menyesap air hujan yang mengguyur muka.
Tangannya menelentang. Seperti berusaha mengenggam setiap tetes air yang
bertandang.
Tidak cuma hari ini
Ayra bermain dengan hujan. Hampir setiap rinai datang, dia sudah memasang
ancang-ancang. Tanpa sedikitpun ekspresi bosan.
Tak pernah habis
pikir. Aku yang berteduh di dalam rumah menggigil kedinginan. Tapi dia lebih
bersuka ria di jalan.
***
“Tidak pusing,
Ayra?” tanyaku ketika hujan telah reda.
Gadis berhidung
mancung itu menggeleng pelan. Tidak banyak bicara, dia lantas mengganti
pakaiannya. Mengeringkan rambut lurus sepinggang dengan handuk kesayangan. Yang
aku tahu, handuk itu berwarna biru terang. Hampir tak pernah ia pergunakan
untuk mengeringkan badan saat mandi. Sepertinya, handuk itu khusus untuk
mengusap lembut rambutnya yang legam.
Belum lama aku
tinggal satu kost dengan dia. Namun, segala gerak-geriknya telah kurekam sejak
pertama sua. Apalagi kegemarannya bermain dengan hujan. Dan anehnya, gadis
manis itu tak pernah disatroni virus influenza. Tidak sepertiku. Terkena
gerimis sedikit saja, pasti cairan bening segera menguasai lubang hidung.
Pintu kamarnya agak
terbuka ketika aku berlalu di depannya. Nampak Ayra tengah tenggelam menekuri
sebuah buku agenda. Sekilas tampak pipinya telah dikuasai air mata.
“Hai, kenapa gadis
manis ini menangis? Adakah yang telah melukai hatinya?” batinku bertanya.
Aku tak berani
berlama-lama mengamatinya. Takut Ayra malu karena kupergoki sedang berurai air
mata.
Tik tok tik tok
Di luar kudengar
penggoda perut lapar mengundang. Abang tukang bakso langganan sudah berhenti di
halaman.
“Ayra, beli bakso
yuk!”
“Iya, Mbak.”
Tidak lama Ayra
sudah rapi dengan kerudung ungu muda. Mata berliannya agak merah. Namun di
pipinya tidak lagi basah. Di tangannya sudah terbawa mangkok bergambar ayam
jago berekor merah. Kugamit lengannya. Kami keluar bersama.
“Kenapa sih kamu
suka hujan-hujannan, Ra?”
Sedikit
keberanianku muncul untuk menanyainya. Dia tidak menjawab. Hanya tersenyum.
Tercipta lesung pipi yang membuat bertambah manis saja raut mukanya.
Sepuluh menit
berlalu. Bakso kuah di mangkok telah pindah ke dalam wadah yang membuatku dan
Ayra begah.
“Bermain hujan itu
menyenangkan, Mbak.”
Tiba-tiba Ayra
menjawab pertanyaanku yang sempat tadi tidak dihiraukannya.
“Apalagi kita bisa
menyesap airnya. Sungguh karunia tak terkira,” tambahnya.
“Apa kamu ndak
khawatir masuk angin setelahnya?” tanyaku
Dia membisu.
Kaca-kaca telah menguasai matanya.
“Sejak saat itu,
aku tidak lagi peduli pada tubuhku, Mbak. Masuk anginkah. Pusing kepala atau
bahkan flu datang.”
“Sejak saat
itu?” Dahiku mengernyit.
Ayra beranjak ke
kamarnya. Hatiku gusar. Mungkin dia sebal dengan pertanyaanku yang menyerupai
penyidik menanyai pesakitan. Sebentar kemudian dia keluar. Di tangannya, agenda
bersampul coklat tergenggam.
Aku terperangah
ketika tangan kurus itu mengulurkan agendanya.
“Silahkan Mbak
baca.”
Aku masih
ragu-ragu. Namun dia tetap memaksaku.
Kubuka lembar demi
lembar catatan yang ditulis tangan oleh Ayra. Tidak terlalu serius kuperhatikan
apa saja yang telah dicatatnya. Namun tanganku berhenti membuka lembar
berikutnya. Ketika di sana mataku menangkap seraut wajah. Wajah lelaki Jawa
tengah tersenyum memamerkan barisan gigi putihnya. Aku tak berani menyebutnya
tampan. Namun di sana kutemukan sebuah karisma.
Di bawah fotonya
tertulis:
Untuk Ayra
Jika kau rindu, pandanglah
Namun jika kau tak puas, maka behujan-hujanlah
Karena kutitipkan salam rindu dan untaian do’a lewat
rintik-Nya
Hatiku bergetar.
Inikah yang membuat Ayra begitu suka mandi hujan? Kulirik gadis di sampingku
itu telah kembali berurai air mata.
“Kamu
mencintainya?” tanyaku seperti manusia pandir.
“Ya,” jawabnya
singkat.
Jemarinya sibuk
memilin ujung jilbab. Kepalanya menunduk. Bahunya naik turun mengikuti alunan
tangis pilunya.
“Siapa dia, Ra?”
“Namanya Dhika,
Mbak.”
“Di mana Dhika
sekarang berada, Ra?”
“Jauh, Mbak. Jauh,”
jawabnya sambil sesenggukan. Sesekali disekanya tetes air dari matanya.
“Setelah dia
memasang foto dan menuliskan pesan di agenda, Mas Dhika memberiku handuk biru
itu. Katanya bisa kupakai mengeringkan rambut setelah mandi hujan. Setelah itu
Mas Dhika pergi, Mbak.”
“Pergi ke mana,
Ra?”
“Kerja, Mbak. Jauh
ke tengah belantara Sumatera.”
“Sudah berapa tahun
kalian tidak ketemu, Ra?”
“Hampir 4 tahun Mas
Dhika ndak pulang.”
“Tapi tetap ada
kabar kan?” tanyaku
Ayra menggeleng
pelan.
“Lantas?”
“Hanya foto dan
sebait pesannya yang ada, Mbak. Mas Dhika telah tiada. Dia menjadi korban gempa
Sumatera tahun 2009 silam. Jasadnya tak ditemukan.”
Kembali airmatanya
menggenang. Kusodorkan tisu untuk menyeka. Aku masih belum puas menanyainya.
“Kalian sempat
bertunangan?” Lagi-lagi sebuah pertanyaan bodoh meluncur tanpa bisa kutahan.
“Tidak, Mbak.”
“Bukankah kalian
saling cinta? Atau orang tua kalian tidak merestui?”
“Mas Dhika kakak
kandungku, Mbak. Kami dua bersaudara. Itulah alasannya kenapa aku begitu
mencintainya.”
Langit hatiku
seolah runtuh. Telah kutemu sebuah jawab sekarang. Mengapa Ayra begitu
mencintai hujan. Sering menekuri agenda ini dalam-dalam. Pun handuk biru yang
tak pernah sekejappun berpindah tangan. Semua hanya untuk melepas rindu pada
seorang abang. Kakak kandung yang kini tak pernah bisa lagi pulang.
Kupeluk gadis manis
bermata berlian itu. Kurasakan kepedihan teramat dalam. Merongrong hati.
“Sabar, Ayra.
Doa’kan kakakmu bahagia di sana,” lembut suaraku berbisik di telinganya.
Masih kudengar
isaknya. Sembari mendekapnya, kubuka lembaran agenda berikutnya. Disitu jelas
kubaca. Sebuah syair karangan Ayra.
Puisi Hujan
Aku ingin menjelma hujan
Merinai jatuh
Menyentuh apa yang kumau
Mencumbu kotamu
Lantas lesap di antara
jejak rindu
Mengguyur hutan,
di mana kau teteskan peluh
Inginku menjelma hujan
Yang tak butuh ijin cuti
Dapat bertandang sesuka hati
Tiba-tiba hujan
kembali datang. Ayra segera melepas pelukan. Kembali berlari keluar halaman.
Sedang tanganku tak kuasa untuk menahan. Sebentar kemudian kudengar Ayra
berteriak lantang.
“Aku ingin menjelma
hujan!”
***
Selesai
Aq ingin menjelma menjadi diriku sendiri ;)
BalasHapusKarena aq sadar tak ada yg lebih berharga lebih dari saya sendiri walaupun diterjang badai ujian dan luapan kekecewaan. Aseekkk
Terimakasih apresiasinya :)
Hapus