Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Ijinkan Aku Bertemu Ayah

  “Jangan pernah mencari ayahmu, sebelum kamu berhasil, Imran.” Imran kecil termangu, ketika ibu memahat prasasti biru di dinding hatinya yang lugu. Ia hanya tahu, setelah menyelesaikan wajib militer, bapak mendapat kesempatan kuliah di sebuah kota kecil bernama Jember. Setelah beberapa tahun, ternyata bapak tidak pernah lagi menemui ibu.  Ibu mendapat kabar dari tetangga, bahwa lelaki yang mirip dengannya  itu telah menikah dan berputera. Imran dan ibu tak pernah lagi dihiraukan. Suatu ketika, seorang yang berempati memberikan alamat baru ayah kepada ibu Imran. Ibarat luka sudah menganga, ibu tidak pernah sudi mencarinya. Sobekan kertas itu dibuang begitu saja. Tanpa sepengetahuan ibu, Imran kecil memungutnya lantas menyimpannya. Bersusah payah seorang diri ibu membesarkan Imran. Menjadi ibu sekaligus ayah. Namun Tuhan lebih menyayangi perempuan kuat itu. Imran masih sangat belia kala ibu mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Menjadi piatu di usia muda. Bapakpun

Selingkuh

"Mama selingkuh!!!" Begitu kira kira lelaki bersuara cempreng itu meneriaki istrinya. Sama sekali tak terdengar merdu di telinga. Panas hati yang diteriaki, dia balas bertanya. "Apa buktinya jika aku selingkuh, Pa? Nongkrong di kafe aja gak pernah. Karaokean di studio juga gak pernah. Paling jauh juga ke pasar atau antar jemput anak sekolah. Lebih mirip gojek yang siap sedia." "Teman Mama yang kasih tahu." "Oh ya? Teman Mama yang mana? Terus dia bilang apa?" jawabnya seraya ambil pisau dapur. "Katanya, Mama simpan foto lelaki lain di dompet. Siapa lelaki lain idaman Mama itu? Ngaku, Ma!" lelaki itu masih berang hingga urat-urat di lehernya menegang. "Wow, sampai tahu isi dompet segala. Silahkan periksa jika masih penasaran dengan lelaki-lelaki yang kusimpan!" tak kalah tegas suara perempuan dengan pisau tergenggam. Tak menunggu minggu, bulan, dan tahun. Bahkan jam pun menit tak sempat beranjak dari angkanya berpi

Ayra dan Hujan

“Aku ingin menjelma hujan!” Ayra berteriak lantang. Tubuh kurusnya basah kuyup. Tapi tetap bergeming. Tak hendak berteduh. Sepertinya memang sengaja ingin mandi hujan. Di balik jendela mataku tak henti menatapnya. Gerakan tiap gerakan membuatku penasaran apa yang tengah menguasai otaknya. Sesekali gadis pendiam itu menengadahkan kepala. Menyesap air hujan yang mengguyur muka. Tangannya menelentang. Seperti berusaha mengenggam setiap tetes air yang bertandang. Tidak cuma hari ini Ayra bermain dengan hujan. Hampir setiap rinai datang, dia sudah memasang ancang-ancang. Tanpa sedikitpun ekspresi bosan. Tak pernah habis pikir. Aku yang berteduh di dalam rumah menggigil kedinginan. Tapi dia lebih bersuka ria di jalan. *** “Tidak pusing, Ayra?” tanyaku ketika hujan telah reda. Gadis berhidung mancung itu menggeleng pelan. Tidak banyak bicara, dia lantas mengganti pakaiannya. Mengeringkan rambut lurus sepinggang dengan handuk kesayangan. Yang aku tahu, handuk itu berwarna b

Burung Suamiku

“Tuh kan burung lagi… .” Bibirku maju beberapa senti demi melihat suamiku pulang dari tugas membawa burung. Bukan sekali tapi tiap kali satgas. “Buat hiburan saja,” jawabnya santai sambil tetap sibuk mengurus burungnya. Aku cuma geleng kepala melihat kelakuannya. Lebih fokus pada burung daripada anak bayi yang sewaktu kulahirkan tidak ditungguinya. “Kalau Ayah berangkat lagi siapa yang urus?” protesku tetap dengan muka bertekuk. “Mama,” jawabnya datar. Serta merta mataku membeliak. “Ndak perlu berlebihan sampai melotot gitu ah. Toh Ayah juga agak lama di rumah,” tambahnya tenang. Hatiku bergemuruh. Seperti genderang perang di gurun kurusetra ditabuh. Jadi ibu rumah tangga plus plus. Sudah sibuk ngurus rumah dan anak masih ditambah merawat burung. Honornya tiap bulan sama tidak dihitung lembur. Kepalaku mulai mendidih. Kalimat-kalimat di mulutku siap meledak. Tapi ingat anak dalam gendongan, segera kuturunkan volume emosi. Membaca istighfar lantas kutinggal pergi. Ja

Caleg

"Ma! Ayah tadi dipanggil Pasipers," kata suamiku setibanya di rumah. Aku mengernyitkan dahi heran. Dipanggil Pasipers kok laporan. Itukan urusan kantor, bukan urusan rumah tangga.   "Pasipers tanya apa?" Aku balik bertanya.   "Ah tidak. Beliau cuma memastikan, apa benar Mama daftar jadi Caleg?" Glek. Agak kaget. Tapi sebentar kemudian aku tergelak. “Jadi caleg? Hahaha.. ada-ada saja. Kabar dari mana, Ayah? ” Suamiku kembali bercerita. Katanya banyak yang tahu fotoku terpampang di baliho-baliho pinggir jalan. Padahal tak pernah sekejappun aku bersentuhan dengan dunia politik.   "Wajah caleg yang mirip Mama kali, Yah. Kan banyak yang bilang kalo ada yang mirip Mama. Syukur deh kalau ada Caleg yang wajahnya mirip." Lanjutku tapi tetap dengan tertawa cekikikan.   “Kok ketawa sih , Ma?” Suamiku protes. Siapa yang tidak akan tertawa mendapat berita perempuan desa, lereng gunung maju daftar jadi caleg. Fotonya tersebar di baliho-baliho