“Tuh kan burung lagi…
.”
Bibirku maju beberapa
senti demi melihat suamiku pulang dari tugas membawa burung. Bukan sekali tapi
tiap kali satgas.
“Buat hiburan saja,”
jawabnya santai sambil tetap sibuk mengurus burungnya.
Aku cuma geleng kepala melihat
kelakuannya. Lebih fokus pada burung daripada anak bayi yang sewaktu kulahirkan
tidak ditungguinya.
“Kalau Ayah berangkat
lagi siapa yang urus?” protesku tetap dengan muka bertekuk.
“Mama,” jawabnya datar.
Serta merta mataku
membeliak.
“Ndak perlu berlebihan
sampai melotot gitu ah. Toh Ayah juga agak lama di rumah,” tambahnya tenang.
Hatiku bergemuruh.
Seperti genderang perang di gurun kurusetra ditabuh. Jadi ibu rumah tangga plus
plus. Sudah sibuk ngurus rumah dan anak masih ditambah merawat burung. Honornya
tiap bulan sama tidak dihitung lembur. Kepalaku mulai mendidih. Kalimat-kalimat
di mulutku siap meledak. Tapi ingat anak dalam gendongan, segera kuturunkan
volume emosi. Membaca istighfar lantas kutinggal pergi.
Jariku bergerak-gerak menghitung
burung-burung yang pernah dibawanya pulang. Genap enam. Dan hampir semuanya
berakhir duka. Ada yang lepas karena teledorku waktu memberi makan. Ada yang
mati kedinginan waktu kumandikan. Ada yang raib modus jual beli. – ditawar
untuk dijualkan tapi uang tak pernah diberi –
semua terjadi ketika suamiku tidak di rumah. Alhasil akulah pelaku utama
merananya burung-burung piaraan di rumah. Tinggal seekor nuri yang setia
memanggil namaku saja. Dan sekarang dibawanya lagi dua ekor cendet bersuara
riuh.
Dua minggu berlalu.
Dengan adanya suami di rumah, agak ringan tugasku. Tidak perlu membersihkan
sangkar-sangkar burung karena semua beres
di tangannya. Seperti halnya hari Minggu yang cerah ini. Mudah-mudahan benar apa katanya. Bahwa lelaki
berambut cepak itu tinggal agak lama di rumah.
Kriiiing
kriiiiing
“Halo! Selamat pagi!”
terdengar suara laki-laki di seberang.
“Iya, selamat pagi.”
“Bapak ada, Bu?”
tanyanya.
“Ada. Mohon ditunggu
sebentar,” jawabku.
Sebentar kemudian
gagang telpon sudah beralih tangan. Aku kembali ke belakang. Tapi tidak lama
karena suamiku meminta bantuan.
“Tolong siapkan seragam
dan beberapa pakaian preman seperti biasa,” katanya.
Deg. Jantungku seakan
berhenti berdenyut. Kakiku gemetar melihatnya mengambil pack besar. Baru dua minggu di rumah sudah mau berangkat lagi.
“Ayah mau kemana?”
tanyaku dengan suara parau.
“Persiapan satgas ke
Nabire. Baru saja ditelpon untuk segera apel ke batalyon cek kelengkapan.”
“Nabire? Ada apa di
sana?”
“Gempa,” jawabnya
sambil menata baju-baju yang sudah kusiapkan.
“Mama jangan sedih ya!”
tambahnya.
“Mama ikhlas kok,”
jawabku masih dengan suara parau.
“Kok seperti mau
nangis?” tanyanya.
“Khawatir.”
“Ndak usah khawatir.
InsyaAllah di sana aman. Cuma pemulihan keadaan pasca bencana saja.”
“Iya khawatir Ayah
pulang tugas bawa burung lagi,” jawabku disusul lelehan kristal bening di pipi.
Tangan suamiku berhenti
berkemas. Kepalanya terangkat. Dua bola matanya menatapku. Mulutnya mengembang.
Seketika tawanya pecah mendengar pintaku. Sedang hatiku kecut karena harus merawat burung yang baru saja dibawanya pulang.
**Selesai**
Komentar
Posting Komentar