“Jangan pernah mencari ayahmu, sebelum kamu
berhasil, Imran.”
Imran kecil
termangu, ketika ibu memahat prasasti biru di dinding hatinya yang lugu. Ia hanya
tahu, setelah menyelesaikan wajib militer, bapak mendapat kesempatan kuliah di
sebuah kota kecil bernama Jember. Setelah beberapa tahun, ternyata bapak tidak
pernah lagi menemui ibu.
Ibu mendapat kabar dari tetangga, bahwa lelaki yang
mirip dengannya itu telah menikah dan
berputera. Imran dan ibu tak pernah lagi dihiraukan. Suatu ketika, seorang yang
berempati memberikan alamat baru ayah kepada ibu Imran. Ibarat luka sudah
menganga, ibu tidak pernah sudi mencarinya. Sobekan kertas itu dibuang begitu
saja. Tanpa sepengetahuan ibu, Imran kecil memungutnya lantas menyimpannya. Bersusah
payah seorang diri ibu membesarkan Imran. Menjadi ibu sekaligus ayah. Namun
Tuhan lebih menyayangi perempuan kuat itu. Imran masih sangat belia kala ibu mengembuskan
napas untuk terakhir kalinya.
Menjadi piatu di
usia muda. Bapakpun tak tahu rimbanya. Imran kecil berkelana ke kota. Bekerja
sebagai kuli angkut. Pasar adalah dunianya. Emperan toko menjadi istana terindahnya. Ia pantang
meminta-minta. Meski banyak orang iba. Hingga suatu hari Bang Amir, seorang
berdarah Arab pemilik toko emas menemukannya tidur tengkurap di depan toko.
Badan Imran kecil panas. Bang Amir
membangunkannya.
“Namamu siapa,
Nak?”
“Imran, Pak.”
Jawab Imran lemah.
“Kamu tidak
sekolah?” Imran hanya
menggeleng.
“Umurmu berapa?”
“Tiga belas
tahun, Pak.”
“Panggil bang
saja, jangan pak . Sekarang makan dulu.
Setelah ini biar Pur antar kamu ke rumah ya.”
Imran kembali
mengangguk. Dilahapnya nasi bungkus yang dibelikan Bang Amir. Setelah habis,
Pur mengantarnya ke rumah orang Arab itu untuk beristirahat.
***
Imran anak yang
rajin. Sejak tinggal bersama Bang Amir, ia mendapat kasih sayang dan tempat
tinggal yang layak. Pagi hari ia berangkat sekolah. Siang hingga malam
menjelang, ia membantu pekerjaan di toko. Alief, anak Bang Amir, berusia hampir
sebaya dengan Imran. Setiap malam, Imranlah yang membantu Alief menyelesaikan
pekerjaan rumah yang diterimanya dari sekolah.
Imran tidak lagi
dianggap Bang Amir sebagai pegawainya. Namun lebih sebagai anaknya. Karena
kecakapan dan kejujurannya, setelah menamatkan SMA, Imran mendapat kepercayaan
penuh untuk menjaga toko emas Bang Amir. Namun tidaklah penuh satu minggu dia
menjaga toko logam mulia itu. Setiap Jum’at, Imran diberi waktu untuk sekedar menikmati libur.
“Bang Imran,
sini, Bang!” Dari jendela
Alief , berteriak memanggil lelaki Jawa yang sudah ikut keluarganya sejak usia
belia. Imran berlari-lari kecil dari halaman belakang menuju rumah besar di
mana Alief tadi memanggilnya.
“Ada pengumuman
pendaftaran tentara, Bang. Abang mau daftar kan?”
Belum lagi Imran
duduk tenang, Alief sudah berceloteh panjang. Dada Imran bergemuruh. Matanya
berbinar. Sebuah keinginan yang telah lama dipendam. Mimpi yang akan segera
dikejar. Imran mencari informasi ke kantor KODIM. Tidak sulit ternyata. Sebentar
saja, formulir pendaftaran sudah di tangan. Dengan senyum dan langkah
ringan, Imran pulang.
Di rumah, Imran
sudah tak sabar menuangkan tinta pada lembar formulirnya. Dinding hati remaja
itu bergetar ketika terdapat isian biodata tentang ayah kandung. Bukan karena
dia sama sekali tidak mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi lebih dari itu.
Sebuah pahatan prasasti biru yang pernah terukir di dinding hati yang tak mati,
kini terbaca kembali. Di telinganya masih terngiang pesan mendiang ibu.
Tangannya
mendadak kelu. Dilema menyerbu. Antara keinginan mewujudkan impian atau
mematuhi wasiat ibu. Perlahan dibukanya lipatan kertas yang pernah ia selipkan
dulu. Matanya terpejam. Napasnya memburu. Sebuah nama kota masih terbaca dengan
jelas. Jember. Imran belum pernah menjejakkan kaki di kota itu. Kota di mana
ayahnya tinggal. Masih hidup atau sudah menyusul ibu. Imran tidak pernah tahu.
“Berangkatlah,
Imran. Cari ayahmu. Sementara abaikan wasiat ibumu. Kamu butuh ijin dan
tandatangannya untuk memuluskan cita-citamu, Mran.”
Bang Amir
meyakinkan hati Imran. Tapi Imran risau. Bagaimana jika nanti ia harus bertemu dengan ibu dan
saudara tirinya? Mungkinkah mereka akan dengan senang hati menerima? Perang
batin berkecamuk. Tidak ada mediasi untuk menemukan solusi. Hanya kata hati
yang harus memutuskan.
“ Baik, Bang.
Saya akan berangkat mencari ayah.”
Mendung menyapu
raut Imran. Di kelopaknya telah menelaga air mata. Mungkin inilah kali ke dua
ia menangis sejak kepergian ibunya. Ia akan kembali bertemu ayah.
***
Tidak terlalu
sulit bagi Imran untuk menemukan alamat yang tertulis di kertas itu. Cukup
dengan tiga kali bertanya, ia sudah tinggal beberapa langkah dari rumah ayah.
Lagi-lagi remaja tegap itu ragu. Puluhan bahkan mungkin ratusan prasangka
berebut tempat di hati. Mulutnya komat-kamit tak henti merapalkan do’a. Nampak
dari tempatnya berdiri, seorang lelaki berumur tengah merawat taman di depan
sebuah rumah yang tergolong mewah. Lelaki itu mirip dengan dirinya.
“Benarkah itu
ayah?” Imran bicara pada dirinya.
Perlahan ia
langkahkan kaki. Tinggal beberapa meter saja Imran berhenti. Matanya tak
berkedip. Jantungnya seperti genderang ditabuh. Bergemuruh. Ditatapnya lekat
lelaki yang tengah menggenggam selang air itu.
“Ayah!”
Suara Imran
tertahan. Tenggorokannya tercekat. Sudah belasan tahun ia tak pernah bertemu
lelaki yang konon dikenal dengan kesahajaannya itu. Kini ia sudah berdiri hanya
beberapa meter dan terpisah pagar saja darinya. Pak Hamid menjatuhkan selang
air. Mulut setengah ternganga. Ada remaja yang seperti salinan fotokopi dengan dirinya.
“Ini saya, Yah.
Imran.”
Terbata Imran
memperkenalkan dirinya.
“Imran!” Bersamaan dengan
Pak Hamid menyebut nama, ada suara perempuan dari dalam rumah.
“Ayah! Ada tamu
siapa, Yah?”
Karena tidak ada
jawaban dari Pak Hamid. Perempuan itu keluar. Wajahnya ayu. Sepasang alis rapi
terlukis di atas kelopak mata bercelak. Tubuhnya ramping berbalut bahan yang
pasti tidak murah. Di kedua tangannya melingkar gelang-gelang berwarna kuning
keemasan. Di jarinya bertengger cincin
bermata berlian.
Imran masih berdiri
di luar pagar. Pak Hamid tidak bisa berbuat apa-apa ketika istrinya sudah
berdiri di dekatnya.
“Ma’af, Mas.
Sedang cari siapa ya?” Tanya perempuan itu.
“Saya Imran.
Saya mencari ayah saya. Apa benar ini rumah Pa Hamid, Bu?”
Mata perempuan
yang ternyata ibu tirinya itu terbelalak. Sudah lama sebenarnya dia tahu
tentang Imran. Tapi perempuan cantik itu tidak pernah menyangka akan bertemu.
“Mau perlu apa?
Minta warisan ya? Ma’af, Mas. Anda salah alamat.” Perempuan itu mencecarnya
dengan pertanyaan yang telah ia kira sebelumnya. Pak Hamid diam seribu bahasa.
Lelaki paruh baya itu tampak kalah dengan sikap istrinya.
“Bukan, Bu. Saya
hanya minta ijin dan tanda tangan untuk formulir pendaftaran saja. Setelah itu
saya pamit pulang.”
“Ah, kamu cuma
cari alasan kan supaya bisa masuk ke rumah saya? Kamu cuma ngaku-ngaku bukan?
Ma’af, ini bukan rumah Pak Hamid. Kamu salah alamat. Silahkan pergi dari sini.
Sekarang.”
Sedikitpun
perempuan yang dikira berhati lembut itu tidak memberi kesempatan pada Pak
Hamid untuk berbicara. Kalimat usiran terlontar dengan mudah. Hati Imran
terluka. Ia hanya ingin bertemu ayahnya. Bukan meminta-minta.
Meski ia tahu
perempuan itu hanya berkata dusta tentang alamat yang salah, Imran tidak
memaksakan keinginannya. Biarlah. Mungkin bukan takdirnya untuk mendaftar
sebagai tentara. Diturutinya keinginan istri muda ayah. Imran berlalu menjauh. Lunglai.
Tak ada gairah. Pupus sudah harapannya.
Di dalam bis,
Imran memejamkan mata. Bukan untuk tidur melepaskan penat. Tapi mengingat ibu
pernah berwasiat. Jangan pernah mencari ayah sebelum dirinya berhasil menjadi
orang. Dan kini terbukti sudah. Imran
datang hanya dikira sebagai peminta harta saja.
Bis tetap
melaju. Tak peduli pada hati Imran yang masih bergemuruh.
***Selesai***
©Wied,
011013, Mlg
Komentar
Posting Komentar