Curahan Hati Seorang Istri
Oleh: Wied Kinasih
#Surat_terbuka_untuk_Saudara_Robertus_Robert
Maaf, tidak saya sisipkan kata yang terhormat untuk Saudara (pakai huruf kapital di sebutan nama dan kata saudara, bagi saya adalah cara menjaga adab). Sejak kecil, orang tua saya menanamkan adab, tapi entah bagaimana didikan orang tua Saudara.
Saya takjub melihat titel yang Saudara sandang. Masih muda, sudah S3. Tapi sayang sungguh sayang, cara bicara Saudara tidak menggambarkan kemuliaan. Sungguh tak pantas bagi seorang pendidik menyampaikan hal yang tak sepatutnya didengar. Apalagi ini menyangkut harga diri benteng Pertiwi. TNI.
Sakit hati akan hinaan Saudara yang dengan seenaknya-saya yakin itu sebuah kesengajaan- mengubah lirik mars kebanggaan kami, bukan berarti kami seperti apa yang Saudara sebutkan. Kami manusia, punya hati, punya rasa.
Apalagi mengetahui Saudara dibebaskan, mendapat kiriman email untuk turut menandatangani sebuah petisi yang isinya mendukung kebebasan Saudara, semakin perih hati kami. Seharusnya Saudara mendapat hukuman berupa mengikuti DikDasMil, Dikko, dll., Lalu diberangkatkan tugas ke daerah konflik, terpisah dari keluarga, tidur di hutan, nyelam dan menyeberangi rawa, makan seadanya, kena malaria, dan mendengar baku tembak dari gerakan separatis bersenjata. Bukan hitungan hari, tapi bulan, bahkan tahun. Sanggupkah? Dalam pikiran saya, Saudara tidak akan pernah sanggup menjalaninya. Jika toh terpaksa, saya yakin Saudara akan lari terkencing-kencing di celana. Tapi apa yang dilakukan TNI di sana? Sangat jauh beda dengan kata-kata tak santun Saudara. Mereka mempertaruhkan nyawa demi negeri ini, yang di dalamnya ada Saudara tinggal dan tidur dengan nyamannya.
Ah, apalah arti tulisan Saya yang hanya seorang istri dan Ibu dari anak-anak yang selalu bertanya, "kapan Ayah pulang dari penugasan?" Silahkan Saudara tertawa-tawa. Supaya Saudara tahu, kami sudah didaulat untuk selalu siap menjadi janda, jika suami kami gugur dalam tugasnya. Anak-anak kami, sudah terbiasa mendapati rumahnya sunyi tanpa kehadiran Ayah. Karena apa? Hanya karena menjaga kedaulatan NKRI.
Kami sudah terlalu kenyang merasakan perpisahan. Ketika hamil tua, saya harus rela menata keperluan suami di medan tugas. Kami ikhlas. Saya hanya istri kedua karena sebelum saya dinikahi, ia telah terlebih dahulu dipinang oleh Pertiwi. Pecah tangis perpisahan di antara kami, adalah seni. Debar dan was-was hati kami adalah melodi yang harus dinikmati. Lantas begitu piciknya Saudara menilai kami.
Andai Saudara tahu bagaimana perasaan anak-anak yang menjadi yatim, orang tua yang akhirnya "kelayung-layung", karena Ayah mereka, putra-putra mereka gugur di medan tugas, saya yakin, Saudara akan hati-hati dalam bicara. Bagaimana jika semua itu menimpa kehidupan Saudara?
Saat ini mungkin Saudara merasa tenang karena kami tidak melawan. Bukan berarti kami lemah. Tapi doa-doa kami saat mencium sajadah, akan melangit diiringi air mata pinta. Allah SWT yang akan membalasnya.
Doa saya, semoga Saudara menjadi agak pintar dalam menyampaikan orasi. Bukan malah memprovokasi. Semoga Saudara setelah ini menjadi pendidik yang baik, agar ilmu Saudara manfaat dan bernilai jariyah, dengan tidak mencekoki pikiran-pikiran negatif pada mahasiswa Saudara. Semoga Saudara sadar sedang hidup di bumi Pertiwi yang senantiasa dijaga oleh TNI.
Salam santun
Wied, Alaskembang
Oleh: Wied Kinasih
#Surat_terbuka_untuk_Saudara_Robertus_Robert
Maaf, tidak saya sisipkan kata yang terhormat untuk Saudara (pakai huruf kapital di sebutan nama dan kata saudara, bagi saya adalah cara menjaga adab). Sejak kecil, orang tua saya menanamkan adab, tapi entah bagaimana didikan orang tua Saudara.
Saya takjub melihat titel yang Saudara sandang. Masih muda, sudah S3. Tapi sayang sungguh sayang, cara bicara Saudara tidak menggambarkan kemuliaan. Sungguh tak pantas bagi seorang pendidik menyampaikan hal yang tak sepatutnya didengar. Apalagi ini menyangkut harga diri benteng Pertiwi. TNI.
Sakit hati akan hinaan Saudara yang dengan seenaknya-saya yakin itu sebuah kesengajaan- mengubah lirik mars kebanggaan kami, bukan berarti kami seperti apa yang Saudara sebutkan. Kami manusia, punya hati, punya rasa.
Apalagi mengetahui Saudara dibebaskan, mendapat kiriman email untuk turut menandatangani sebuah petisi yang isinya mendukung kebebasan Saudara, semakin perih hati kami. Seharusnya Saudara mendapat hukuman berupa mengikuti DikDasMil, Dikko, dll., Lalu diberangkatkan tugas ke daerah konflik, terpisah dari keluarga, tidur di hutan, nyelam dan menyeberangi rawa, makan seadanya, kena malaria, dan mendengar baku tembak dari gerakan separatis bersenjata. Bukan hitungan hari, tapi bulan, bahkan tahun. Sanggupkah? Dalam pikiran saya, Saudara tidak akan pernah sanggup menjalaninya. Jika toh terpaksa, saya yakin Saudara akan lari terkencing-kencing di celana. Tapi apa yang dilakukan TNI di sana? Sangat jauh beda dengan kata-kata tak santun Saudara. Mereka mempertaruhkan nyawa demi negeri ini, yang di dalamnya ada Saudara tinggal dan tidur dengan nyamannya.
Ah, apalah arti tulisan Saya yang hanya seorang istri dan Ibu dari anak-anak yang selalu bertanya, "kapan Ayah pulang dari penugasan?" Silahkan Saudara tertawa-tawa. Supaya Saudara tahu, kami sudah didaulat untuk selalu siap menjadi janda, jika suami kami gugur dalam tugasnya. Anak-anak kami, sudah terbiasa mendapati rumahnya sunyi tanpa kehadiran Ayah. Karena apa? Hanya karena menjaga kedaulatan NKRI.
Kami sudah terlalu kenyang merasakan perpisahan. Ketika hamil tua, saya harus rela menata keperluan suami di medan tugas. Kami ikhlas. Saya hanya istri kedua karena sebelum saya dinikahi, ia telah terlebih dahulu dipinang oleh Pertiwi. Pecah tangis perpisahan di antara kami, adalah seni. Debar dan was-was hati kami adalah melodi yang harus dinikmati. Lantas begitu piciknya Saudara menilai kami.
Andai Saudara tahu bagaimana perasaan anak-anak yang menjadi yatim, orang tua yang akhirnya "kelayung-layung", karena Ayah mereka, putra-putra mereka gugur di medan tugas, saya yakin, Saudara akan hati-hati dalam bicara. Bagaimana jika semua itu menimpa kehidupan Saudara?
Saat ini mungkin Saudara merasa tenang karena kami tidak melawan. Bukan berarti kami lemah. Tapi doa-doa kami saat mencium sajadah, akan melangit diiringi air mata pinta. Allah SWT yang akan membalasnya.
Doa saya, semoga Saudara menjadi agak pintar dalam menyampaikan orasi. Bukan malah memprovokasi. Semoga Saudara setelah ini menjadi pendidik yang baik, agar ilmu Saudara manfaat dan bernilai jariyah, dengan tidak mencekoki pikiran-pikiran negatif pada mahasiswa Saudara. Semoga Saudara sadar sedang hidup di bumi Pertiwi yang senantiasa dijaga oleh TNI.
Salam santun
Wied, Alaskembang
Komentar
Posting Komentar