"Ibu, sebentar lagi anakmu pulang.
Membawakanmu setangkup mimpi pun sebuah kebanggaan. Menebus sebuah kegagalan
masa lalu. Yang sedikit pun tak kau bayangkan akan menimpaku. Ibu, aku rindu
peluk hangat pun do'a tulusmu,” bisik Pras lirih sembari mencari tempat duduk
di kabin pesawat. Hatinya gelisah. Antara haru dan bahagia. Lima belas menit
menjelang pesawat take off terasa
bertahun lamanya.
Tak banyak yang tahu bahwa laki-laki berperawakan
jangkung itu pernah limbung. Terpuruk dalam kubangan duka. Hanya karena satu
hal yang tak pernah ia sangka. Tinggal sejengkal ia lulus menjadi bintara muda.
Lagi-lagi jalan nasib berkata beda. Kegagalan harus ia terima. Namun, kekuatan do’a dan harapan ibu padanya,
membuat ia bangkit untuk kembali merangkai asa.
Lima tahun mengadu nasib di tanah rantau.
Akhirnya sebuah mimpi di raihnya. Ia diterima sebagai karyawan perusahaan tambang besar di Indonesia. Selama
penantian itu pula, tak sekalipun dia pulang hanya untuk melihat senyum ibunya.
Helai-helai rindu berkelindan di palung hati. Ingin rasanya segera mengabarkan
warta yang pasti akan membahagiakan ibu. Tapi harus menunggu waktu. Enam bulan
baru bisa ia jejakkan kaki di tanah kelahiran kembali.
“Tetap jaga shalat di mana pun kamu berada, Nang. Ibu hanya bisa berdo’a untuk
keberhasilan dan kebaikanmu. Berangkatlah jika tekadmu sudah bulat.”
Pras memejamkan mata. Hatinya berdesir. Pesan ibu kembali mengiang di telinga. Pun obrolan
di ponsel sebulan lalu, masih juga berlesatan di benaknya.
Dreet
dreet
Sebuah pesan masuk ia terima.
Dik,
bagaimana kabarmu? Ibu sangat menanti kepulanganmu.
Senyumnya merekah. Talian batin tak pernah
retas dari mereka. Segera saja ia membalas pesan dari kakaknya bahwa ia ingin
sekali mendengar suara ibu nun jauh di sana.
“Assalamu’alaikum, Bu… ,” suara bariton itu
tercekat demi menyapa wanita yang pernah mengandungnya.
“Wa’alikumsalaam. Piye, Nang? Kapan bisa pulang?”
Sebuah suara tak kalah parau terdengar di seberang.
“InsyaAllah bulan depan, Bu. Do’akan semua
lancar. Agar kita bisa segera bertemu,” jawabnya santun.
“Aamiin. Iyo,
Nang. Ibu senantiasa berdo’a untukmu,” kata
ibu. Seketika,dada lelaki gagah itu seolah tersiram sejuknya air telaga.
Bandara Juanda telah berselimut malam. Ia
bergegas mencari travel setelah beres
urusan bagasi. Tak sulit mendapatinya pun tak perlu menunggu lama. Segera setelah penuh, mobil
berpenumpang tujuh itu melaju.
Meski melaju seratus kilometer per jam, perjalanan
darat tak ubahnya seperti kura-kura. Terasa begitu lambat dan membuat perut
mulas saja. Bukan mulas karena mabuk kendaraan. Tapi lebih karena gelisah. Hatinya
menduga-duga. Pasti ibu telah menyiapkan penyambutan untuknya. Sambutan khas,
berupa hidangan istimewa. Ia membayangkan sambel
tumpang dan botok kesukaan telah
terhidang di meja. Kemudian dinikmati bersama ibu dengan tatap teduh.
Rumahnya sunyi. Di ambang pintu gerbang lelaki
itu berdiri. Matanya nanar, melihat tenda terpasang.
“Masuklah , Dik. Kenapa hanya diam di sini?”
suara Mbak Nik mengejutkannya.
“Ibu di mana, Mbak?”
Mbak Nik membimbingnya ke dalam rumah. Dengan
lembut menyampaikan berita, bahwa kemarin pagi ibu telah berpulang pada Yang
Mahamenyayanginya. Tubuh lelaki tinggi besar itu
limbung. Kakinya tak lagi kokoh menahan beban hatinya. Kehilangan yang tak
pernah ia duga sebelumnya, makin mengoyak luka lama.
***
“Ibu! bukankah Ibu telah berjanji untuk menanti.
Anakmu pulang, Bu. Menepati janji
mengobati luka hati. Apalah arti semua ini jika tak bisa lagi kulihat
senyum bahagiamu? Ma’afkan anak lanangmu
ini, Bu!” Bahu lelaki tegap itu berguncang.
Di atas pusara yang masih basah,
air matanya tak henti berlinang.
Wied, Alaskembang-Malang, 131213
Nangis.....ingat alm. Ibu...
BalasHapusSo sorry :( ...
Hapus