Sudahkah Sekolah Kita Menerapkan Budaya Posistif? Koneksi Antar Materi Modul 1.4 CGP-5 tahun 2022 Kabupaten Malang
Sudahkah Sekolah Kita Menerapkan Budaya Positif?
Koneksi Antar Materi Modul 1.4
Oleh: Sri Widyowati Kinasih, S.Pd
CGP-5 Kelas 72B Kabupaten Malang
Tahun 2022
Bermula dari mimpi. Mungkin seperti
itulah gambaran dari visi sekolah kami, “Mewujudkan Peserta Didik yang
Berakhlak Mulia, Cerdas, Percaya Diri, Mandiri, Terampil, dan Bersahaja di
Lingkungan Sekolah yang Ramah”. Apa yang kami impikan tidak akan terwujud jika
budaya positif di sekolah tidak ditumbuhkan dengan baik. Untuk menumbuhkan
budaya positif tersebut, tentu saja akan sangat proporsional jika dimulai dari setiap
individu. Saya sebagai Calon Guru Penggerak berusaha menjadi contoh bagi rekan
guru yang lain dalam menerapkan disiplin
positif sebagai kebutuhan bukan tuntutan. Saya juga mulai mengganti motivasi
perilaku berupa hukuman menjadi konsekuensi dan restitusi. Semua dapat kami
lakukan dengan cara berkolaborasi bersama rekan guru dan siswa. Budaya positif
yang saya coba tumbuhkan, telah sesuai dengan Filosofi Pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara, bahwa setiap anak memiliki kodrat masing-masing, karakter
baiknya harus ditebalkan sedangkan potensi negatifnya sebisa mungkin
dihilangkan.
Budaya-budaya
positif yang dimaksud bisa motivasi dan keyakinan bahwa disiplin positif adalah
sebuah kebutuhan bukan lagi tuntutan. Meminimalisir hukuman sebagai sanksi bagi
siswa yang melanggar, pun mengurangi reward karena kurang efektif untuk
memotivasi semangat seluruh siswa, semua perlahan diganti dengan apresiasi yang
baik bagi siswa.
Selain itu, 5 posisi kontrol guru,
mulai dipilih posisi kontrol posistif dan kontrol diri, serta meninggalkan
posisi kontrol negative yang hanya akan menimbulkan trauma bagi siswa hingga
dewasa. Menyelesaikan masalah melalui segitiga restitusi lebih dikedepankan
agar anak-anak semakin termotivasi dan percaya diri bahwa mereka selalu
didukung untuk berproses menjadi generasi yang berkarakter mulia. Hal tersebut
sangat sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, salah satunya adalah bahagia.
Tidak itu saja, karena budaya positif tersebut sangat sesuai dengan Filosofi
Pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Dengan belajar modul 1.4, saya
merasa apa yang saya alami saat kecil dulu, atas sanksi dan hukuman yang pernah
saya terima, selalu lekat di ingatan sehingga menjadikan kenangan buruk
sepanjang hidup saya. Karenanya, saya berusaha untuk mengaplikasikan apa yang
sudah saya pelajari dari modul 1.4, Budaya Positif, menjadi budaya di sekolah
saya.
Contoh kasus yang terjadi kemarin
adalah, salah satu siswa saya berbohong dan tidak melaksanakan tugasnya saat
kegiatan uoacara peringatan HUT ke 77 RI. Karena di komitmen kelas sudah kami
sepakati tentang apresiasi pada sikap jujur, siswa saya yang melakukan
pelanggaran tersebut berani jujur mengakui kesalahannya. Secara pribadi, siswa
tersebut selanjutnya saya ajak bicara 4 mata. Saya menanyakan kepadanya tentang
tugas apa yang seharusnya dilaksanakan, kemudian saya juga menanyakan apa yang
telah ia perbuat. Karena posisi control saya sebagai teman, siswa saya tidak
canggung untuk mengakui kesalahannya. Kemudian dia berjanji untuk bersikap
lebih baik dan ertanggung jawab. Saya merasa lega, tanpa harus naik darah
karena memberinya hukuman. Dengan cara yang humanis, ternyata saya bisa
menyelesaikan sebuah masalah dan memotivasi murid saya untuk lebih percaya
diri.
Dengan mempelajari modul ini, saya
lebih sering melakukan refleksi, apakah sudah tepat posisi control yang selama
ini saya lakukan. Selain itu, saya juga melihat efek yang terjadi pada siswa
saya, ada perbedaan motivasi jika posisi control saya adalah negative.
Setelahnya, saya berusaha mengendalikan diri untuk lebih berhati-hati dalam
menjalankan posisi control saya. Tentunya saya lebih memilih posisi control positif
dan control diri.
Setelah mengalami kejadian di atas
dan secara kebetulan saya mempelajari modul 1.4 tentang budaya posistif,
tentunya saya berinisiatif untuk membagikannya kepada warga sekolah, terutama
Kepala Sekolah sebagai pemipin dan rekan guru selaku sejawat saya. Tidak hanya
saya yang antusias, ternyata semua guru termotivasi untuk berubah menjadi guru
yang baik, dengan tidak mengutamakan hukuman tetapi mengganti dengan
konsekuensi sesuai komitmen kelas dan alur segitiga restitusi dalam
menyelesaikan masalah.
Sebelum belajar modul tentang Budaya
Positif, sebenarnya saya sudah berada di posisi control positif, yaitu sebagai
teman bagi anak-anak. Namun tidak jarang, saya juga melakukan posisi control merasa
bersalah. Dua hal yang berbeda saya dapati. Jika saya menanamkan rasa bersalah,
murid saya menjadi minder dan takut. Tetapi ketika posisi saya sebagai teman,
murid saya berani mengemukakan pendapat dan percaya diri.
Seperti yang saya kemukakan di atas,
bahwa sebelum mempelajari modul ini, saya sudah melakukan posisi control positif
sebagai teman. Dalam menyelesaikan masalah, saya juga sudah melakukan alur
segitiga restitusi yaitu menanyakan identitas dan memvalidasi kesalahan. Tahap
menanyakan identitas, saya menanyakan kepada siswa yang melakukan pelanggaran
dia sebenarnya siapa jika di sekolah. Hal tersebut untuk menyadarkan siswa,
bahwa di sekolah mereka adalah bagian dari keluarga besar (anak) yang pasti
akan mendapat hak pengasuhan, kasih saying, dan perlindungan. Pada fase memvalidasi
kesalahan, saya menanyakan kepada siswa yang melanggar, tentang komitmen apa
yang sudah mereka langgar. Di luar dugaan, murid saya dengan jujur mdan
berlapang dada mengakui kesalahan serta siap menerima konsekuensi sesuai
keseoakatan kelas yang sudah kami buat di awal pembelajaran.
Konsep-konsep yang disampaikan di
modul ini sudah sangat mewakili semua proses penciptaan budaya positif baik di
kelas maupun di sekolah. Tentunya konsep tersebut tidak hanya dipelajari namun
harus dipraktikkan agar lebih bermakna dan berkelanjutan. Budaya Positif
sekolah yang tentunya mendukung visi sekolah serta mewujudkan prestasi baik
akademik maupun non akademik siswa.
Komentar
Posting Komentar