Koneksi Antar
Materi Modul 2.1 Pembelajaran Diferensiasi
Sudah
Adilkah Kita?
Oleh Sri Widyowati
Kinasih, S.Pd
CGP-5 kelas 72
Kabupaten Malang Jawa
Timur
Tahun 2022
Di modul 1.1 saya mempelajari tentang Filosofi Pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara. Di modul tersebut sangat ditekankan bahwa setiap anak memiliki
kodratnya masing-masing. Tugas pendidik adalah menumbuhkan kodrat baik itu
dengan cara memberikan bimbingan. Selanjutnya di modul 1.2 saya mendapatkan
materi tentang Pemimpin Pembelajaran, bahwa Guru Penggerak harus mampu
menjalankan filosofi Among Ki Hajar Dewantara, antara lain: Ing Ngarsa Sung
Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut
Wuri Handayani. Dalam memimpin pembelajaran, Guru Penggerak mengadopsi kerangka
berpikir Inkuiri Apresiatif (IA) sehingga ia menjadi lugas dalam mengemas
pertanyaan-pertanyaan pemantik dalam dialog yang mengungkap kekuatan, potensi,
serta asset yang terdapat baik di dalam kelas maupun sekolah. Hal ini kemudian
berlanjut pada modul 1.3 tentang visi guru penggerak untuk mewujudkan budaya
positif di sekolah. Budaya positif disajikan di modul 1.4. Bagaimana
implementasi visi yang sudah diprogramkan dan usaha mengubah cara pandang serta
control guru menjadi lebih humanis.
Pada modul 2.1, tentang pembelajaran berdiferensiasi, sangat erat
hubungannya dengan 4 modul sebelumnya. Di mana, setiap anak memiliki kodrat dan
keistimewaan masing-masing yang tidak boleh disbanding-bandingkan. Tugas guru
adalah sebagai pamong dan harus memiliki erbagai cara positif untuk
keberhasilan kegiatan pembelajaran dan pendidikan bagi murid di kelasnya.
Setelah mempelajari modul ini, saya sadar ternyata apa yang sudah saya
lakukan selama ini adalah contoh dari pembelajaran berdeferensiasi, di mana
saya tidak memukul rata kemampuan siswa saya, melainkan memetakan dalam
beberapa kelompok untuk saya berikan penanganan yang tentu saja berbeda. Anak
tertentu yang memiliki kemampuan lebih, saya kelompokkan sendiri untuk
diberikan materi yang lebih dalam. Sedangkan siswa yang memiliki kemampuan yang
lebih rendah, sayaberikan penanganan yang bereda pula sesuai dengan
kemampuannya. Hal ini saya lakukan agar semua anak memiliki semangat belajar
yang tinggi. Karena saya yakin, setiap anak memiliki masa masing-masing untuk
menjadi mengerti.
Saya ingat pernyataan guru saya ketika saya aduduk di kelas 3 SMP dulu,
bahwa adil bukan berarti sama rata. Namun adil adalah sesuai dengan porsinya,
sesuai dengan kebutuhannya. Ibarat memakan nasi, porsi sang Ayah tentu saja
akan berbeda dengan porsi anaknya yang masih bayi. Atau jika membeli sepatu,
maka ukuran sepatu ayah akan berbeda dengan ukuran sepatu anaknya yang masih
balita. Akan adil jika mereka diberi sepatu sesuai dengan ukurannya. Bukan
disamakan yang tentu saja sama sekali tidak akan berguna. Begitu juga dengan
perlakuan terhadap murid di kelas. Melalui assessment diagnostic baik kognitif
maupun non kognitif, kita bisa memetakan siswa kita, agar apa yang mereka
terima sesuai dengan kebutuhan mereka. Jika dianalogikan sebagai botol dan
ukuran mulutnya, maka botol besar dengan mulut lebar, harus kita berikan air
yang banyak agar otol tersebut dapat terisi penuh tanpa menunggu lama. Namun
bagi botol kecil denag mulut yang kecil, tidak mungkin kita perlakukan sama
saat mengisi air seperti pada botol besar denagn mulut besar. Yang terjadi
adalah air akan tumpah denagn sia-sia.
Dengan tantangan-tantangan tersebut, saya harus tetap berpikiran positif,
agar siswa saya tetap bersemangat dan gembira saat belajar di sekolah. Tidak
merasa tertekan namun merasa diberikan ruang untuk mereka berkembang.
Diferensiasi bukan untuk membedakan
dan membandingkan, namun lebih memetakan untuk keadilan.
***wied***
Komentar
Posting Komentar